Tegal, Jepangnya Indonesia ?
“ATI-ATI mbokan dolan neng Tegal. Aja jagongan neng pinggir dalan, mbokan disulap dadi kompor,“ ungkap seorang kawan saat di kampus dulu. Tidak tahu kenapa, ungkapan (bernada olok-olokan) ini sedemikian membekas dalam memori saya. Seolah-olah ada sesuatu, mungkin substansi, semangat, nilai atau makna tak biasa dari kalimat yang dianggap biasa tersebut. Dan setengah terpaksa, saya korek lagi sebuah relasi dan relevansi kalimat tersebut pada konteksnya.
“Apa toh makna ungkapan tersebut, wong cuma guyonan kok,“ jawaban itu pula yang saya dapat dari kawan lainnya, yang kebetulan orang Tegal, ketika suatu waktu saya iseng mendiskusikannya. Dan tiba-tiba, jawaban itu samar-samar terjawab. Tepatnya, ketika Dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Industri menyebut ’Tegal Jepangnya Indonesia’ untuk sekedar menjelaskan sebuah tatanan ekonomi mikro menakjubkan yang menurutnya layak dikaji dari berbagai aspek. Lontaran sang dosen pun sempat menarik minat saya, kenapa tidak saya jadikan sebagai bahan penelitian skripsi.
Dan pada akhirnya, ketika saya batal mengangkat fenomena tersebut –sebab akhirnya saya lebih tertarik mengambil kajian kepustakaan, tepatnya tentang pemikiran Nurchilish Madjid-, ingatan tersebut masih saja menganggu saya. “Wah, kapan-kapan, minimal nyong kudu nulis tentang kuwe,“ batin saya. Lucunya, ketika saya berkesempatan menulis tentang seperti apa sebenarnya Budaya Tegal, inspirasi itu justru muncul dari pemikiran Cak Nur (sapaan akrab Nurcholish Madjid). Tahun dan edisi penulisan sulit untuk saya ingat, ketika kolom Fatsoen Harian Republika, dia mengajukan gagasan segar. Pekalongan dalam pandangannya sangat representatif untuk menjadi proyeksi keIndonesiaan paling ideal, mungkin semecam protype. “Loh, apa hubungane karo Tegal?,“ mungkin Anda bertanya demikian.
Ada dua alasan yang mendukung gagasan sang Guru Bangsa tersebut. Pertama, corak budaya pesisir –sebagaimana sejarah peradaban masyarakat di banyak belahan dunia- adalah compatible bagi tumbuhkembangnya peradaban. Kultur pesisir menurutnya cenderung terbuka, kosmopolit, dan tentu saja –karena akses interaksi dengan berbagai ragam budaya lainnya- memiliki tingkat dinamika yang tinggi. Inilah basis budaya yang amat menunjang kemajuan sebuah peradaban. Kedua, formasi sosial masyarakat Pekalongan menurut Cak Nur cukup menggambarkan Indonesia, antara lain komposisi kaum santri yang mayoritas, namun tetap tak menafikkan unsur lainnya, seperti –katakanlah- nasionalis abangan, minoritas non Muslim, termasuk komposisi Muslim modern dan tradisional yang berimbang. Dalam corak masyarakat yang demikian, tradisi keilmuan, apresiasi atas kemajemukan, dan lainnya cenderung terjaga dengan baik. Lalu, apa relevansinya dengan pembahasan tentang Tegal?
Saya hanya ingin menyatakan, bahwa apa yang sedang kita bahas bersama sebagai Budaya Tegalan, sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari konstelasi sosial budaya di wilayah Karisidenan Pekalongan. Sebut saja Pekalongan itu pusat peradaban, maka artinya, daerah lain di sekitarnya adalah penopang, seperti halnya Jabodetabek bagi Jakarta. Dan semua daerah penopang ini pun nyatanya memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda-beda. Kalau Brebes, Pemalang dan Batang kita anggap sebagai wilayah agraris, dengan kecenderungan dinamikanya yang lamban, maka Tegal, dengan demikian mewakili entitas ekonomi, terutama dalam hal ini adalah sektor industri dan perdagangan. Dan tak disangsikan, dinamika wilayah ini boleh dikata sangat tinggi, termasuk dalam sirkulasi sumber daya ekonomi yang konon terbesar kedua se Jawa Tengah setelah Semarang. Pun soal dinamika budaya, orang Tegal dikenal sangat mudah bergaul dengan masyarakat suku dan budaya manapun.
Di sektor perdagangan, Tegal nyaris dipenuhi dengan berragam aksesoris pusat perdagangan modern, seperti mall dan pusat perbelanjaan lain, termasuk bermunculannya gerai, butik, outlet, dan lainnya. Sementara pada sektor industri, geliat sektor industri rumah tangga dengan aset miliaran tumbuh subur, baik di Kota maupun Kabupaten Tegal, dari pusat kota sampai ke desa-desa. Ada etos yang terpotret dari gejala tersebut, yakni kreativitas tinggi masyarakat Tegal. Bukan hanya kompor, tetapi juga produk industri logam alat-alat pertanian, onderdil motor dan mobil atau bahkan perhiasan, dapat tercipta dari tangan-tangan dingin nan kreatif masyarakatnya. “Lah, barang katon apa sih sing ora bisa dipelajari,“ kata seorang teman. Meski cenderung tak orisinil, namun kreativitanya memang layak diacungi jempol. Lebih dahsyat karena semua produk industri tersebut hanya dikerjakan dengan alat dan mesin standar serta bahan baku rongsokan. Saya sendiri yang orang Tegal nyaris berdecak kagum. “Wuedan, memang Tegal Jepangnya Indonesia!,“***
Oleh:
Akhmad Saefudin, S.Sos
Kepala Divisi Data dan Informasi Lembaga Nalar Terapan (LeNTera) Tegal.
Penulis beralamat di Desa Pesayangan RT 08/02 Kecamatan Talang Kabupaten Tegal
0 komentar:
Posting Komentar