Gelombang talenta yang diproduksi akademi Barcelona, yang dikenal dengan nama La Masia, memang sedang merajai sepakbola dunia. Tahun 2010 adalah puncak prestasi mereka dengan enam alumni La Masia menjadi bagian dari line-up tim nasional Spanyol yang memenangi Piala Dunia. Mereka adalah Carles Puyol, Gerard Pique, Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Pedro Rodriguez dan Sergio Busquets. Belum ditambah Victor Valdes dan Cesc Fabregas yang terdapat di bangku cadangan. Selain itu, di tahun yang sama, tiga nama alumni La Masia menjadi finalis Ballon d’Or atau Anugerah Pemain Terbaik Dunia versi FIFA. Lionel Messi keluar menjadi pemenang di atas Xavi Hernandez dan Andres Iniesta.
Apa sih sebenarnya keistimewaan La Masia dibandingkan akademi-akademi sepakbola klub lain?
Jurnalis Grant Wahl dari media Sports Illustrated pernah menulis bahwa seperti halnya motto FC Barcelona yaitu ‘mes que un club’ (lebih dari sekadar klub), makna lebih La Masia juga ditekankan kepada para talenta remaja yang sedang menimba ilmu sepakbola. Mereka tidak hanya mempelajari dasar-dasar mengolah bola dan teknik serta strategi bertanding. Dari usia 12 atau 13 tahun sampai 18 tahun, mereka dipupuk oleh rasa kebersamaan dan ‘sense of belonging’ kepada sejarah klub. Mereka datang dari berbagai lapisan masyarakat di penjuru negara Spanyol, dari daratan Andalusia hingga kepulauan Canary.
Setelah lulus seleksi, anak-anak tersebut harus rela berpisah dengan keluarga mereka untuk tinggal di asrama. Rutinitas sehari-hari mereka pun dihabiskan di lingkungan akademi: menghadiri pelajaran sekolah di pagi dan siang hari, lalu berlatih sepakbola dari petang hingga malam hari. Ketika akhir pekan tiba, akan diadakan pertandingan-pertandingan ujicoba untuk mengasah mental bertanding mereka. Di sinilah identitas mereka sebagai keluarga besar FC Barcelona terbentuk.
Barcelona harus berterima kasih pada seorang warga negara Belanda atas terbentuknya sistem pembinaan yang turun-temurun ini. Siapa lagi kalau bukan Johan Cruyff. Mantan pemain El Barca di periode 1973 – 1978 inilah yang mengusulkan kepada presiden Josep Lluis Nunez agar membangun suatu akademi pembinaan pemain muda. Berhubung dirinya adalah alumni akademi Ajax Amsterdam, saat itu Cruyff mengusulkan agar Barca mengadopsi system akademi Ajax yang terbilang sukses di decade 1970-an. Inilah awal dari segalanya.
Nunez langsung memutuskan untuk membeli sebuah gedung tua di daerah Les Corts. Sebelumnya, gedung tua itu digunakan sebagai tempat berkumpulnya para arsitek yang bertugas untuk mendesain stadion baru El Barca, yang sekarang kita kenal sebagai Camp Nou. Bangunan itu merupakan peninggalan dari abad ke-18 dan terletak di sebuah lahan yang cukup luas, sehingga melahirkan nama julukan ‘La Masia’ yang terjemahan Bahasa Inggrisnya berarti ‘old farmhouse’.
La Masia pun mulai menuai benih di dekade 1980-an dengan beberapa alumni yang menjadi tulang punggung tim utama El Barca, antara lain Guillermo Amor, Carles Busquets, ayah dari Sergio Busquets, dan tentu saja, Josep Guardiola. Terpilihnya Cruyff sebagai pelatih tim utama Barcelona kala itu juga memuluskan jalan para alumni untuk menjadi pemain kelas dunia. Gelar juara Piala Champions di tahun 1992 adalah sukses pertama El Barca di tingkat Eropa. Sayangnya, mereka harus bersabar menunggu selama 14 tahun sebelum mengangkat trofi tersebut kembali di tahun 2006.
Selama bertahun-tahun, akademi La Masia tetap menghasilkan berbagai pemain berbakat. Sayangnya, Belandanisasi yang dilakukan coach Louis Van Gaal di tahun 1997 sampai 2000 dan 2002 sampai 2003, membuat banyak pemain tidak berkembang sampai di level puncak permainan mereka. Pemain-pemain berbakat seperti Ivan de la Pena, Mikel Arteta hingga Jose Manuel Reina memilih pintu keluar, karena pelatih yang juga dibesarkan Ajax tersebut lebih gemar menyusun sendiri timnya yang didominasi pemain Belanda. Meski demikian, Van Gaal masih sempat memberi kesempatan pada beberapa pemain binaan, yaitu Carles Puyol, Xavi Hernandez, Andres Iniesta dan Victor Valdes untuk menjalani debut, dan menjadi bagian reguler di first team. Seperti yang kita sama-sama ketahui, keempat pemain itu sampai sekarang menjadi bagian tak terpisahkan dari tim utama El Barca.
Namun, jika membicarakan La Masia, kita tidak boleh melupakan kedua nama ini: Josep ‘Pep’ Guardiola dan Francesc ‘Tito’ Vilanova. Duet pelatih yang juga sama-sama alumni La Masia inilah yang merevolusi sistem pembinaan akademi menjadi berbagai tahapan yang masih dianut sampai sekarang. Guardiola menyusun tahapan-tahapan tersebut sesuai kelompok usia pemain muda.
Tidak tanggung-tanggung, pembinaan di La Masia tidak ubahnya proses wajib belajar sembilan tahun di Indonesia! Kelompok usia 7 – 8 tahun sudah tergabung di tahap yang disebut tahap ‘Pre-Benjamin’. Di atasnya, usia 8 – 10 tahun, talenta-talenta kecil digabungkan di dalam tahap ‘Benjamin’. Seterusnya, usia 10 – 12 tahun disebut ‘Alevin’, usia 12 – 14 tahun disebut ‘Infantil’, dan usia 14 – 16 disebut ‘Cadet’. Setelah memasuki usia 16 atau 17 tahun yang disebut juga tahap ‘Juvenil’, para pemain muda diseleksi ketat hingga pada akhirnya tahap tersebut hanya terdiri dari 50 orang dari sekitar 500. Di tim ‘Juvenil’ inilah para pemandu bakat dan pelatih Barcelona B akan turun ke lapangan untuk memantau bibit-bibit baru mereka.
Tahap selanjutnya, seperti yang kita ketahui bersama, sudah merupakan sepakbola profesional. Ya, aturan unik di Spanyol memang memungkinkan tim B untuk berkompetisi dengan tim utama klub lain selama tidak terdapat dua tim dari satu klub di divisi yang sama. Di bawah asuhan Pep dan Tito, Barcelona B berhasil kembali berlaga di Segunda Division alias divisi dua Liga Spanyol. Dengan mengikuti kompetisi yang lebih ketat dengan lawan-lawan yang lebih tangguh, tentu saja talenta-talenta muda Barca matang lebih cepat. Kita pun sekarang bisa melihat hasilnya dalam diri Cristian Tello, Thiago Alcantara, Gerard Deulofeu, dan sederet generasi penerus Barca lainnya.
Di masa sekarang, La Masia tetap dijalankan oleh orang-orang lama dan alumni-alumni mereka. Pasca kepergian Guardiola dan naik pangkatnya Vilanova menjadi coach tim A, dua alumni Barca, yaitu Eusebio Sacristan ditunjuk menjadi pelatih tim B dan Oscar Garcia menjadi penanggung jawab Barca Juvenil. La Masia sendiri saat ini diurus oleh Guillermo Amor. Mantan gelandang jenius ini sekarang menjabat sebagai direktur teknik akademi tersebut. Sang empunya konsep, Johan Cruyff, juga tidak pernah pergi jauh-jauh. Meskipun sempat konflik dengan Presiden Sandro Rossell, namun Cruyff tetap menjadi penasihat utama keseluruhan sistem pembinaan.
Dengan regenerasi dan fondasi kuat yang terjaga secara turun temurun, sepertinya La Masia masih akan merajai dunia selama beberapa dekade ke depan.
Sumber: http://www.bolatotal.com/fansclub-indobarca.html
0 komentar:
Posting Komentar